Sungguh indah dan nyaman perasaan apabila mendapat kasih sayang daripada Tuhan yang sentiasa menyediakan segala keperluan kita, meluaskan keampunan dan rahmat-Nya kepada kita. Kemuncak daripada perjalanan kehambaan ini adalah apabila dijemput untuk menziarahi Allah di syurga kelak. Digambarkan oleh ‘ulama; apabila mendapat jemputan tersebut, hati terasa begitu berdebar bagaikan hendak tercabut jantung.

September 01, 2013

Malaikatpun Beramai-ramai Menziarahi Makam Tsa’labah


Tersebutlah seorang pemuda bernama Tsa’labah Abdurrahman—yang berasal dari kalangan Anshar—masuk Islam. Setelah memeluk Islam, Tsa’labah sangat mencintai Rasulullah saw dan selalu siap melayani keperluan beliau.
Suatu ketika, Rasulullah saw mengutus Tsa’labah bin Abdurrahman untuk suatu keperluan. Tsa’labah berangkat menuju tempat yang dimaksud. Dia melewati rumah-rumah penduduk. Tiba-tiba, matanya melihat sesuatu yang menarik. Saat itu, dia melintas di depan rumah salah seorang wanita Anshar.
Beberapa saat Tsa’labah tidak beranjak. Matanya tidak berkedip memandangi wanita Anshar yang sedang mandi. Setelah agak lama, barulah Tsa’labah tersentak. Dia sendiri kaget dengan apa yang baru saja diperbuatnya, bahwa mengintip itu termasuk perbuatan dosa. Tsa’labah berkali-kali beristighfar. Ada satu kekhawatiran menyelinap di dalam dirinya, akan ada wahyu yang turun kepada Rasulullah saw berhubungan dengan ulahnya yang memalukan.
Perasaan bersalah membuat Tsa’labah merasa tidak tenang. Tanpa membuang-buang waktu, dia berlari sekencang-kencangnya menuju sebuah bukit yang terletak di antara Mekkah dan Madinah. Dia terus mendaki bukit itu dan tinggal di sana beberapa lama.
Selama empat puluh hari, Tsa’labah menghilang. Banyak sahabat yang bertanya-tanya, ke mana gerangan Tsa’labah, termasuk Rasulullah saw juga merasa kehilangan dia.
Hingga pada suatu hari, turunlah Malaikat Jibril. Malaikat penyampai wahyu ini kemudian menghampiri Rasulullah saw.
“Muhammad, Allah menyampaikan salam untukmu dan menyampaikan bahwa ada seorang pemuda dari umatmu berada di sebuah bukit. Pemuda ini sedang memohon perlindungan kepada-Nya.”
Mendengar kabar seperti itu, segera saja beliau menyuruh Umar dan Salman untuk mencari Tsa’labah bin Abdurrahman. Mereka pun pergi menyusuri perbukitan di sekitar Mekkah dan Madinah. Dalam pencarian itu, mereka berjumpa dengan seorang penggembala asal Madinah yang bernama Dzufafah.
“Nak, apakah engkau pernah melihat seorang pemuda tinggal di sekitar perbukitan ini?”
“Jangan-jangan, yang Tuan maksud itu seorang pemuda yang kabur dari neraka Jahanam?”
“Mengapa engkau menyebut pemuda itu kabur dari neraka Jahanam?” Umar terkejut mendengar ucapan si penggembala.
“Pemuda itu sangat misterius, kelakuannya juga aneh. Bila malam tiba, dia turun dari perbukitan ini dengan meletakkan tangan di atas kepala. Seperti orang yang sangat menyesal, pemuda itu mengulang-ngulang perkataan, ‘Ya Allah, mengapa tidak Engkau cabut saja nyawaku. Mengapa tidak Engkau binasakan saja tubuhku ini. Mengapa tidak Engkau biarkan aku menunggu keputusan-Mu di pengadilan akhirat saja!’”
“Nah, sepertinya pemuda itu yang sedang kami cari,” tanggap Umar girang.
Kemudian, mereka bertiga menyusuri perbukitan. Si penggembala berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Benar apa yang dikatakan si penggembala. Menjelang malam, pemuda yang dimaksud keluar. Sosoknya muncul dari arah sebuah bukit. Seperti kata si penggembala, pemuda ini meletakkan tangan di atas kepalanya sambil berkata, “Ya Allah, mengapa tidak Engkau cabut saja nyawaku. Mengapa tidak Engkau binasakan saja tubuhku ini. Mengapa tidak Engkau biarkan aku menunggu keputusan-Mu di pengadilan akhirat saja!”
Umar terharu mendengar kata-kata yang diucapkan Tsa’labah. Apalagi setelah melihat kondisi tubuh Tsa’labah yang sangat memprihatinkan. Rambutnya kusut, baju kotor, dan tubuh kurus. Beberapa saat kemudian Umar menghampiri dan memeluk Tsa’labah.
“Umar, apakah Rasulullah saw sudah mengetahui perbuatanku?”
“Sungguh, saya tidak tahu pasti. Hanya, kemarin beliau menyebut-nyebut namamu. Beliau lantas mengutus aku dan Salman untuk mencari kamu.”
“Umar, saya minta satu hal. Tolong bawa saya menghadap Rasulullah saw saat beliau shalat.”
Umar mengangguk setuju. Setelah mengucapkan terima kasih kepada si penggembala, ketiga sahabat Rasulullah saw ini pun kembali ke Madinah. Perjalanan mereka diatur sedemikian rupa agar bisa sampai ke Madinah pada saat Rasulullah saw sedang menunaikan shalat.
Umar, Salman, dan Tsa’labah segera bergabung mengisi shaf. Ketika mendengar bacaan Rasulullah saw, Tsa’labah tersungkur pingsan. Setelah selesai shalat, para sahabat heran melihat Tsa’labah pingsan.
“Umar! Salman! Apa yang terjadi dengan Tsa’labah?” tanya Rasulullah saw sambil mendekat ke tubuh Tsa’labah yang sedang tergolek pingsan.
“Kami tidak tahu, ya Rasulullah saw!”
Kemudian, Tsa’labah tersadar dari pingsannya.
“Tsa’labah, darimana saja kamu? Tiba-tiba saja kamu menghilang sekian lama. Sekarang, datang tiba-tiba pingsan.”
“Saya telah berbuat dosa, ya Rasulullah!” jawab Tsa’labah nyaris tak terdengar. Kepalanya menunduk, dari sudut matanya menetes beberapa titik air mata.
“Dulu, aku pernah mengajarimu doa, apabila kamu baca, akan menghapus dosamu. Kamu masih ingat?”
“Masih, ya Rasulullah. ‘Ya Tuhan kami, sudilah Engkau memberi kami kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Lindungilah kami dari azab neraka.’“
“Nah, itu dia!”
“Tapi, ya Rasulullah, saya rasa, dosa saya ini sangat besar.”
“Al-Quran adalah Kalamullah. Kalamullah jauh lebih besar daripada dosamu.”
“Rasulullah saw kemudian mengantar Tsa’labah pulang ke rumahnya. Tubuh Tsa’labah masih lemah dan kondisinya bertambah parah. Tsa’labah harus terbaring di tempat tidur selama delapan hari.
Mendengar kabar Tsa’labah sakit, Salman menjenguk ke rumahnya. Sekembali dari rumah Tsa’labah, dia tidak langsung pulang, tetapi mampir ke rumah Rasulullah saw serta mengabari beliau ihwal sakitnya Tsa’labah.
“Rasulullah, sudah beberapa hari Tsa’labah sakit keras,” ungkap Salman.
Rasulullah bersiap-siap untuk menengok Tsa’labah. Sesampai di rumah Tsa’labah, Rasulullah saw meletakkan kepala Tsa’labah di atas pangkuannya. Namun, Tsa’labah malah menggeserkan kepalanya dari pangkuan beliau.
“Mengapa kamu tidak mau merebahkan kepalamu di atas pangkuanku?” tanya beliau.
“Saya merasa tidak pantas. Saya telah berbuat dosa, ya Rasulullah.”
“Bagaimana keadaanmu kamu sekarang? Apa yang kamu rasakan?”
“Saya merasa tidak enak badan. Tulang, daging, dan kulit saya terasa seperti dikerubuti banyak semut.”
“Apa yang kamu inginkan?”
“Ampunan Allah,” jawab Tsa’labah lirih.
Selang beberapa saat kemudian, Malaikat Jibril datang menemui Rasulullah saw.
“Muhammad, Allah menitipkan pesan, ‘Andaikan hamba-Ku ini menghadap ke Hadirat-Ku dengan membawa dosa sepenuh bumi, niscaya Kutemui dia dengan ampunan sepenuh bumi pula.‘“
Kabar gembira ini kemudian disampaikan beliau kepada Tsa’labah. Demi mendengar kabar ini, Tsa’labah menjerit histeris. Saking gembira, tubuh Tsa’labah terkulai lemas. Kali ini bukan sekadar pingsan, tetapi dia meninggal dunia.
Suasana berkabung, para sahabat berdatangan melayat. Rasulullah saw memerintahkan beberapa orang untuk mengurus jenazah Tsa’labah. Tsa’labah dimandikan dan dikafani.
Ada kejadian aneh seusai Tsa’labah dishalatkan. Para sahabat merasa heran melihat Rasulullah saw berjalan sambil berjingkat-jingkat.
Selesai pemakaman, barulah ada seorang sahabat yang memberanikan diri bertanya, “Ya Rasulullah, tadi kami melihat engkau berjalan sambil berjingkat-jingkat. Ada apa sebenarnya?”
“Demi Allah, saya berjalan sambil berjingkat-jingkat karena makam Tsa’labah dipenuhi malaikat yang menziarahinya.”
“Pandangan mata adalah panah beracun dari antara panah-panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut kepada-Ku maka Aku ganti dengan keimanan yang dirasakan manis dalam hatinya.” (HR Al-Hakim)

No comments:

Post a Comment